Legowo & Partners

Archive for the ‘Uncategorized’ Category

Agar Mahasiswa FH Boleh Beracara di Pengadilan

In Uncategorized on Agustus 1, 2013 at 10:01 pm

PP No. 42 Tahun 2013 memperkokoh dasar pendampingan oleh dosen, mahasiswa dan paralegal.

MYS

Mahasiswa fakultas hukum tetap boleh menjalankan praktik litigasi dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan  pengadilan.

Dalam program bantuan hukum yang anggarannya disediakan pemerintah, mahasiswa, dosen, dan paralegal boleh menjalankan praktik litigasi dan non-litigasi. Tetapi untuk litigasi, ada syarat yang harus dipenuhi mahasiswa.

PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP 42) menyebutkan litigasi pada dasarnya dilakukan oleh advokat yang menjadi pengurus organisasi Pemberi Bantuan Hukum (PBH) atau advokat luar yang direkrut PBH.

PBH boleh merekrut mahasiswa fakultas hukum (FH) jika jumlah advokat yang terhimpun dalam wadah PBH tidak memadai. Mahasiswa tersebut baru bisa beracara dengan melampirkan bukti tertulis pendampingan dari advokat, baik advokat PBH atau advokat dari luar yang direkrut untuk menangani kasus tertentu.

Syarat lainnya, mahasiswa harus sudah lulus mata kuliah hukum acara. Tidak disebutkan apakah nilai kelulusan A, B, atau C; dan tidak disebutkan apakah semua hukum acara atau cukup acara pidana dan acara perdata. Mahasiswa tersebut juga harus sudah ikut pelatihan paralegal. Pasal 13 ayat (4) PP 42 hanya menyebutkan mahasiswa FH tersebut ‘harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan paralegal’.

Berdasarkan catatan hukumonline, para mahasiswa biasanya banyak menimba ilmu dalam berbagai pelatihan di lembaga bantuan hukum. Program magang di kantor pengacara adalah pilihan lain.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH-M), misalnya, menawarkan program magang (internship) kepada mahasiswa setiap tahun. Juli tahun ini, ada 10 mahasiswa yang dinyatakan lolos ikut program tersebut. Selain program internship, masih ada program magang reguler di LBH-M.

Mahasiswa yang magang reguler inilah yang sering ikut menangani kasus meskipun, menurut Ricky Gunawan, Direktur Eksekutif LBH-M, yang maju ke pengadilan tetap advokat. “Belum ada yang sampai duduk beracara,” ujarnya.

Koordinator Nasional Jaringan Paralegal Indonesia (JPI), Ismail Hasani, mengapresiasi ketentuan PP 42. Dengan aturan tersebut berarti memperkokoh payung hukum buat mahasiswa, paralegal, dan dosen untuk beracara. “Aturan itu patut kita apresiasi karena lebih memperkokoh,” ucapnya kepada hukumonline.

Daerah Minim Advokat
Dalam konteks penyelenggaraan bantuan hukum untuk warga miskin, kehadiran mahasiswa FH sebenarnya sangat penting terutama di daerah-daerah yang jumlah advokat, dosen hukum dan paralegal tidak memadai. Itu sebabnya, kata Ismail, dalam proses pembentukan UU Bantuan Hukum dan peraturan teknisnya, PJI berharap lebih dari sekadar pendampingan oleh advokat.

Ditegaskan Ismail, di daerah yang minim advokat seharusnya mahasiswa dan paralegal diperbolehkan membantu warga miskin dalam proses litigasi. Syaratnya, tetap perlu mendapat izin dari ketua pengadilan setempat. “Harapannya, mereka bisa beracara di daerah-daerah yang tidak ada atau minim advokatnya, tetapi tetap seizin ketua pengadilan,” jelas Ismail.

Ismail berpendapat tidak perlu ada pembatasan perkara yang bisa ditangani. Tidak perlu ada kekhawatiran paralegal dan mahasiswa mengambil ‘jatah’ advokat. Pada umumnya, paralegal lebih fokus menangani kasus-kasus yangmelibatkan komunitas.

Pembatasan pada tahap beracara bagi mahasiswa juga tak perlu. Pasal 15 PP 42 juga sudah mengakomodasi ketentuan pendampingan atau menjalankan kuasa. Mahasiswa boleh mendampingi atau menjalankan kuasa di tingkat penyidikan, penuntutan, di muka persidangan, atau menjalankan kuasa terhadap penerima bantuan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Di daerah-daerah yang minim advokat, mahasiswa juga bisa menjalankan tugas memberi bantuan hukum non-litigasi. Termasuk dalam cakupan non-litigasi tersebut adalah peyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, dan drafting dokumen hukum.

Di daerah-daerah bencana, mahasiswa, dosen, dan paralegal juga bisa memberikan bantuan hukum kepada para korban. PP No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial memasukkan bantuan hukum sebagai bagian dari perlindungan sosial. Beleid ini memberi ruang kepada warga yang mengalami kerentanan sosial untuk mendapatkan bantuan hukum.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51e905308efd3/agar-mahasiswa-fh-boleh-beracara-di-pengadilan

Surat Rekomendasi Komnas HAM Terkait Sumpah Advokat

In Uncategorized on April 19, 2013 at 6:26 pm

Pada Desember 2012 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menerima Pengaduan langsung dan surat Pengaduan yang disampaikan oleh Sdr. Yuianto perihal penyampaian dugaan pelanggaran Ham Ketua Pengadilan Tinggi Papua Pada intinya Pengadu menjelaskan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi Papua menolak melakukan sumpah advokat kepada para calon advokat yang berasal dari organisasi Advokat KAl. Akibat dari hal tersebut Pengadu telah diperlakukan secara diskriminatif karena Ketua Pengadilan Tinggi Jaya Pura tidak melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi No: 79/PUU-Vlll/2012 tanggal 27 Juni 2011 Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 101/PUU-Vll/2009 tanggal 30 Desember 2009.

Sehubungan dengan hal itu dan tanpa ikut mencampuri kewenangan Ketua Mahkamah Agung Rl, Komnas HAM perlu menyampaikan hal-hal sebagai berikut :

  1. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, disamping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum lainnya. Melalui jasa hukum yang diberikan Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundemental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia;
  2. Terkait putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: No: 79/PUU-Vlll/2012 tanggal 27 Juni 2011 Jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 101/PUU-Vll/2009 tanggal 30 Desember 2009, Komnas HAM memandang perlunya regulasi yang jelas dari Mahkamah Agung Rl untuk mengimplementasikan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama berkaitan dengan kedudukan Ketua Pengadilan Tinggi untuk menyumpah para advokat baru.
  3. Menjamin hak-hak para advokat yang ada untuk dapat beracara tanpa memandang organisasi advokat tempat mereka berasal.

Penting kami sampaikan bahwa tidak adanya tindak lanjut atas pengaduan tersebut dapat berpotensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk mendapat keadilan dan perlindungan dari Pengadilan yang objektif sebagaiamana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Jo. Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pengabaian terhadap hak pengadu merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan Saudara selaku bagian dari pemerintahan lndonesia mempunyai kewajiban memenuhi hak asasi warga lndonesia sebagaimana diatur dalam PasalTl UU No. 39 Tahun 1999.

Demikian disampaikan, atas perhatian dan kerjasama Saudara yang baik
Saudara diucapkan terima kasih.

sumber : http://www.kongres-advokat-indonesia.org/showdetail.php?mod=art&id=117

Rekomendasi KOMNAS HAM

In Uncategorized on April 19, 2013 at 6:23 pm

Rekomendasi KOMNAS HAM

Sumber : http://www.facebook.com/#!/yuliyanto.sh?fref=ts

Pemerintah Nilai UU Sudah Lindungi Advokat

In Uncategorized on April 19, 2013 at 6:10 pm

Sepanjang advokat tak melanggar kode etik dan undang-undang ketika menjalankan profesinya.

ASH

Pemerintah berpendapat profesi advokat telah mendapat perlindungan hukum yang memadai yang dijamin dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. UU Advokat telah merumuskan bentuk perlindungan terhadap advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Misalnya, advokat bebas mengeluarkan pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam sidang pengadilan.

“Advokat juga berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya baik instansi pemerintah atau pihak lain untuk kepentingan pembelaannya kliennya,” demikian pandangan pemerintah yang disampaikan Direktur Litigasi, Mualimin Abdi dalam sidang lanjutan pengujian UU Advokat di ruang sidang MK, Kamis (18/4).

Mualimin menjelaskan advokat sebagai pemberi jasa hukum berupa konsultasi, bantuan hukum, mewakili dan membela kepentingan klien dalam sidang untuk menemukan kebenaran materil. Dengan dasar itulah, advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dalam persidangan.

Meski begitu, seorang advokat sebagai profesi officum nobile (mulia) tetap harus memperhatikan kode etik dan peraturan perundangan-undangan. “Jadi tidak dibenarkan apabila advokat mengeluarkan pernyataan yang bersifat mengadu domba, mengolok-olok, fitnah yang bisa dikategorikan melanggar kode etik dan undang-undang,” kata Mualimin.  

Selain itu, pemerintah memandang bentuk perlindungan yang memberi hak advokat memperoleh informasi dan data itu, dapat dilakukan untuk kepentingan pembelaan kliennya di luar persidangan. Namun, apabila advokat saat menjalankan profesinya di luar sidang melakukan penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan tetap dapat dituntut secara pidana.

“Apalagi kalau pernyataan advokat di luar persidangan tak didasarkan bukti, itu hanya akan menimbulkan fitnah,” katanya.

Untuk itu, menurut pemerintah Pasal 16 UU Advokat semata-mata dalam rangka menjaga dan melindungi profesi officum nobile itu. Jika ketentuan itu tidak dicantumkan, bukan tak mungkin menimbulkan potensi contempt of court di luar sidang. “Menyatakan Pasal 16 UU Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945 (kontitusional),” tegasnya.   

Untuk diketahui, Rangga Lukita Desnata bersama rekannya, Oktavianus Sihombing dan Dimas Arya yang berptofesi advokat mengajukan uji materi Pasal 16 UU Advokat. Menurutnya, pasal ini merugikan advokat karena hanya memberi perlindungan hukum terhadap advokat di dalam persidangan, tidak di luar persidangan.

Padahal, advokat dalam menjalankan profesinya di luar pengadilan yang berhubungan kepentingan kliennya cukup banyak. Seperti, melakukan mediasi, somasi, pendampingan hingga menggelar konferensi pers terkait perkara yang ditangani.

Selengkapnya, Pasal 16 berbunyi “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”

Para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 16 UU Advokat karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Atau pasal itu dinyatakan kontitusional bersyarat sepanjang diartikan advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di luar dan di dalam sidang pengadilan.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516fd7d79a119/pemerintah-nilai-uu-sudah-lindungi-advokat

RUU Advokat: Mekanisme Sumpah Advokat Mungkin Berubah

In Uncategorized on April 19, 2013 at 6:04 pm

Pengambilan sumpah advokat HAPI dilakukan di aula Kementerian Hukum dan HAM.

M. Yasin/Fajar R/Rofiq Hidayat

Pengambilan sumpah advokat merupakan adalah satu yang menimbulkan masalah bagi advokat setelah terjadi perpecahan organisasi. Terutama karena sikap pimpinan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi yang enggan menghadiri pelantikan advokat di luar anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Penolakan itu memunculkan beragam cara pengambilan sumpah advokat baru di masing-masing organisasi.

Pada 14 Maret lalu, misalnya, DPP Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) mengambil sumpah 215 advokat baru di aula pengayoman Kementerian Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, hadir dalam acara tersebut.

Ketua Umum DPP HAPI, Suhardi Somomoeljono mengaku telah berkoordinasi dengan Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun Ketua Pengadilan dan wakilnya tidak hadir. Menurut Suhardi, Ketua Pengadilan Tinggi tak bisa hadir karena benturan antara  Surat Ketua MA No. 089/KMA/VI/2010 dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 101/PUU-VII/2009. “Oleh karena itu, DPP HAPI meminta difasilitasi negara melalui Kementerian Hukum dan HAM,” ujarnya kepada hukumonline saat itu.

Amir Syamsudin sempat memberikan petuah kepada para advokat yang baru disumpah. Ia merasa tidak ada yang salah dengan penyelenggaraan acara HAPI di aula Kementerian Hukum dan HAM. Ia juga tak ingin bersikap diskriminasi terhadap organisasi advokat. “Mereka punya iktikad baik, dan menyelenggarakan di tempat saya. Apa salahnya?”

“Saya berdiri di atas semua organisasi advokat yang ada. Saya akan datang manakala ada organisasi advokat yang mengundang saya. Silakan saja. Itu tidak menjadi masalah buat saya,” kata Amir kala itu.

Lantas, bagaimana RUU Advokat mengatur pengambil sumpah advokat? Pasal 12 ayat (1) RUU (versi 15 Januari 2013) merumuskan: sebelum menjalankan profesi, advokat wajib bersumpah atau berjanji di organisasi advokat tempat advokat tersebut terdaftar.

Rumusan ini jelas berbeda dari Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Berdasarkan rumusan Pasal ini, pengambilan sumpah advokat dilakukan dalam ‘sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya’. Pasal ini sempat dimohonkan judicial review oleh sejumlah advokat, dan Mahkamah Konstitusi memutus permohonan itu pada akhir Desember 2009.

Berdasarkan RUU Advokat, salinan Berita Acara Sumpah atau Janji disampaikan kepada Mahkamah Agung. Sebelumnya, berdasarkan UU Advokat, salinan dikirimkan ke Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, dan organisasi advokat.

Anggota Panja RUU Advokat Komisi III DPR, Nudirman Munir, membenarkan rumusan baru mekanisme pengambilan sumpah advokat. “Organisasi advokat menyumpah advokat,” ujarnya.

Advokat senior, Frans Hendra Winarta, mengatakan pengambilan sumpah dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi didasarkan pada pemikiran bahwa profesi advokat memerlukan pengakuan negara. “Ini penting supaya ada pengakuan negara,” kata dia kepada hukumonline (27/2). Frans justru lebih mempertanyakan komersialisasi pengambilan sumpah. Ia tidak setuju ada pungutan biaya pada pengambilan sumpah advokat.

Sekjen Peradi, Hasanudin Nasution, mengatakan UU Advokat sudah mengatur secara limitatif pengambilan sumpah dilakukan di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi. Dalam konteks kehadiran Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin dalam pengambilan sumpah advokat HAPI, Hasanudin justru mempertanyakan hubungan pengambilan sumpah dengan Kementerian. “Saya kira tidak ada hubungannya,” ujar Hasanudin.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt516bc5ed894f9/mekanisme-sumpah-advokat-mungkin-berubah

UNDANGAN

In Uncategorized on Maret 13, 2013 at 12:26 am

Kepada Yth:
Rekan Advokat Anggota DPD KAI Yogyakarta serta Rekan Advokat Pro KAI dimanapun anda berada.

Dengan hormat, bahwa sehubungan akan dilaksanakannya Musyawarah Daerah II DPD KAI Yogyakarta, maka dengan ini kami mengundang Rekan Advokat khususnya anggota DPD KAI Yogyakarta untuk menghadiri Musyawarah Daerah II DPD KAI Yogyakarta pada :
hari, tanggal : Sabtu, 16 Maret 2013
… Tempat : Sahid Rich Jogja Hotel, Jl. Magelang KM 6 Yogyakarta
Jam : 08.00 – 18.00 WIB

Demikian undangan ini disampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 12 Februari 2013
Hormat kami,
Ketua Panitia Musyawarah Daerah DPD KAI Yogyakarta

AMIN ZAKARIA.,SE.,SH.,MSi

sumber :    http://www.facebook.com/#!/dpdkai.yogyakarta?fref=ts

Ancaman Sanksi Kembali Dimuat dalam RUU Advokat

In Uncategorized on Maret 13, 2013 at 12:20 am

Sudah mempertimbangkan legalitas paralegal memberikan bantuan hukum.

MUHAMMAD YASIN/RFQ/M-15

Panitia Kerja DPR tentang RUU Advokat merumuskan beberapa hal baru dalam rancangan yang kini masih terus digodok. Panja telah meminta pendapat dari sejumlah lembaga dan tokoh berkaitan dengan RUU Advokat. Salah satu yang kembali dimasukkan ke dalam RUU adalah ancaman sanksi pidana.

Dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ketentuan ancaman sanksi itu dimuat dalam Pasal 31. Rumusannya: Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 50 juta rupiah.

Rumusan itu telah mengancam posisi dosen-dosen di LBH kampus dan paralegal yang bekerja di lembaga-lembaga bantuan hukum. Paralegal   LBH Jakarta malah sempat ditahan aparat Polres Jakarta Utara pada 2009 lalu menggunakan pasal tersebut. Dosen-dosen yang dipanggil polisi menggunakan Pasal 31 UU Advokat pun gerah.

Karena itu, sejumlah dosen mempersoalkan Pasal 31 UU Advokat ke Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan No. 006/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan rumusan ancaman sanksi terhadap advokat. Tiga hakim konstitusi—HM Laica Marzuki, HAS Natabaya dan Achmad Roestandi—menyatakan pendapat berbeda atas putusan itu.

Kini, dalam rumusan sementara RUU Advokat, pasal ancaman pidana itu kembali dimuat, yakni di Pasal Pasal 25 dan 26. Anggota Panja RUU Advokat, Nudirman Munir, mengatakan masuknya kembali pasal ancaman pidana dimaksudkan untuk mencegah calo-calo perkara, yakni orang yang mengaku-ngaku sebagai pengacara. “Untuk meminimalisisasi adanya orang-orang yang mengaku pengacara,” ujarnya.

Sekilas ada perbedaan perumusan. Pasal 25 RUU menegaskan “setiap orang dilarang menjalankan profesi advokat tanpa memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang”. Selanjutnya, Pasal 26 RUU menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat tanpa memenuhi ketentuan yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 50 juta rupiah”.

Dosen hukum pidana FH Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, berpendapat rumusan Pasal 31 UU Advokat 2003 tidak terlalu berbeda dari rumusan Pasal 25 dan 26 RUU. Cuma, rumusan terbaru menghapus frasa ‘bertindak seolah-olah sebagai advokat’ yang dulu menjadi unsur Pasal 31. Rumusan baru juga memperkenalkan klausul pengecualian, yaitu ‘kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang’.

Dengan kalimat terakhir ini, maka larangan menjalankan profesi advokat menjadi mentah lagi. “Dibuka lagi kemungkinan ada orang lain yang bisa menjalankan profesi advokat kalau undang-undang lain menentukan secara khusus,” jelas Eva kepada hukumonline.

Eva Achjani Zulfa menilai penerapan ancaman pidana dalam Pasal 25 dan 26 RUU (jika sudah disahkan tanpa perubahan –red) tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi kalau perspektif yang digunakan masih sempit, dalam arti terbatas pada perkara pidana. Bagaimana dengan orang yang melakukan pendampingan di pengadilan agama atau perkara perdata? Eva menggarisbawahi pentingnya memperjelas pengertian profesi advokat. “Yang perlu diperjelas adalah pengertian pekerjaan profesi advokat,” tegasnya.

Pasal pengecualian dalam RUU, diakui anggota Panja DPR Nudirman Munir, merujuk pada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Berdasarkan Undang-Undang ini, dosen dan paralegal bisa memberikan konsultasi dan bantuan hukum kepada masyarakat miskin pencari keadilan. “Berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum itulah mereka bertitik tolak,” tandas politisi Partai Golkar itu.

Mantan Direktur LBH Jakarta, Asfinawati, dapat memahami jika maksud pembuat RUU Advokat adalah untuk melindungi masyarakat dari orang-orang yang mengaku pengacara. Tetapi ia meminta Panja DPR memperhatikan sungguh-sungguh putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah membatalkan rumusan Pasal 31 UU Advokat.

sumber ;   http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt513dfa9a814a7/ancaman-sanksi-kembali-dimuat-dalam-ruu-advokat

DRAF UU ADVOKAT

In Uncategorized on Februari 16, 2013 at 7:37 am
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
ADVOKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan;
b. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan;
c. bahwa advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Advokat;

Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
3. Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima Jasa Hukum dari Advokat.
4. Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang dibentuk oleh Advokat berdasarkan Undang-Undang ini yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.
5. Induk Organisasi Advokat adalah perkumpulan Organisasi Advokat yang berfungsi sebagai induk dari Organisasi Advokat.
6. Kode Etik Advokat yang selanjutnya disebut Kode Etik adalah pedoman etika dan perilaku yang harus dilaksanakan oleh Advokat.
7. Dewan Kehormatan Organisasi Advokat yang selanjutnya disebut Dewan Kehormatan adalah organ yang dibentuk oleh Organisasi Advokat yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran Kode Etik di tingkat pertama.
8. Majelis Kehormatan Advokat yang selanjutnya disebut Majelis Kehormatan adalah organ yang dibentuk oleh Induk Organisasi Advokat yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran Kode Etik di tingkat banding yang putusannya bersifat final dan mengikat.
9. Advokat Asing adalah Advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma adalah Jasa Hukum yang diberikan oleh Advokat kepada Klien yang tidak mampu.
Pasal 2
Undang-Undang ini dilaksanakan berdasarkan asas:
a. keadilan;
b. kepastian hukum;
c. kemandirian;
d. netralitas;
e. profesionalitas;
f. akuntabilitas; dan
g. transparansi.

BAB II
FUNGSI, KEDUDUKAN,
DAN WILAYAH KERJA ADVOKAT

Pasal 3
Advokat berfungsi sebagai pembela kepentingan hukum Klien dan masyarakat demi kebenaran dan keadilan.

Pasal 4
Advokat berkedudukan sebagai salah satu pilar penegakan hukum yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesi mulia, dengan berpegang teguh pada Kode Etik dan sumpah Advokat untuk penegakan supremasi hukum dan keadilan.

Pasal 5
Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 6
Advokat berhak:
a. mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam dan di luar sidang pengadilan dengan tetap berpegang teguh pada Kode Etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menjalankan tugas profesinya dengan bebas untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang teguh pada Kode Etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. menerima honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Klien yang ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua pihak;
e. atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan, dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
f. untuk tidak dapat dituntut secara perdata atau pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan; dan
g. untuk tidak diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

Pasal 7
(1) Advokat wajib:
a. memberikan perlakuan yang sama terhadap Klien tanpa membedakan perlakuan berdasarkan jenis kelamin, suku, agama, ras, antargolongan, politik, keturunan, atau latar belakang sosial dan budaya;
b. merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang;
c. memberikan Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma dan melaporkan pelaksanaannya kepada Organisasi Advokat; dan
d. mengenakan atribut dalam sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 8
(1) Dalam menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Advokat tidak diperbolehkan:
a. memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya;
b. memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan profesinya; dan
c. menjalankan profesi Advokat apabila diangkat menjadi pejabat negara.
(2) Advokat harus melaporkan pengangkatan dirinya sebagai pejabat negara baik pada saat mulai maupun pada saat selesai menjalankan jabatannya kepada Organisasi Advokat tempat Advokat tersebut terdaftar.

BAB IV
PENGANGKATAN, SUMPAH ATAU JANJI, DAN PEMBERHENTIAN

Bagian Kesatu
Pengangkatan

Pasal 9
(1) Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Induk Organisasi Advokat.
(2) Setiap orang yang diangkat menjadi Advokat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia;
b. bertempat tinggal di Indonesia;
c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
e. mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat dan lulus ujian profesi Advokat;
f. magang paling singkat 2 (dua) tahun secara terus menerus pada kantor Advokat;
g. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
h. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas.
(4) Mantan jaksa, polisi, penyidik pegawai negeri sipil, atau hakim dapat diangkat menjadi Advokat dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan telah berhenti dan/atau diberhentikan dengan hormat secara tetap paling singkat 5 (lima) tahun dari jabatannya.
(5) Mantan jaksa agung, kepala kepolisian Republik Indonesia, hakim agung, atau hakim konstitusi tidak dapat diangkat menjadi Advokat.

Pasal 10
(1) Pendidikan khusus profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf e diselenggarakan oleh Organisasi Advokat.
(2) Ujian profesi advokat sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) huruf e diselenggarakan oleh Induk Organisasi Advokat bekerja sama dengan Organisasi Advokat.
(3) Kurikulum pendidikan khusus profesi Advokat ditetapkan oleh Induk Organisasi Advokat sesuai dengan standar yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11
(1) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat disampaikan oleh Induk Organisasi Advokat kepada Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja.
(3) Induk Organisasi Advokat mengeluarkan kartu Advokat dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya surat keputusan pengangkatan Advokat.
(4) Induk Organisasi Advokat mengirimkan kartu Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Advokat yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal dikeluarkannya kartu Advokat.

Bagian Kedua
Sumpah atau Janji

Pasal 12
(1) Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah atau berjanji menurut agamanya dengan sungguh-sungguh yang dipandu oleh pimpinan Organisasi Advokat tempat Advokat tersebut terdaftar.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut:
“Demi Allah saya bersumpah atau saya berjanji:
bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
(3) Pengambilan sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara oleh Organisasi Advokat yang salinannya disampaikan kepada Induk Organisasi Advokat dan Mahkamah Agung.

Bagian Ketiga
Pemberhentian

Pasal 13
(1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat berdasarkan keputusan Dewan Kehormatan atau Majelis Kehormatan.
(2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Dewan Kehormatan atau Majelis Kehormatan kepada Induk Organisasi Advokat dan Mahkamah Agung.

Pasal 14
(1) Advokat berhenti dari profesinya secara tetap karena:
a. meninggal dunia;
b. permohonan sendiri; dan
c. diberhentikan.
(2) Advokat diberhentikan dari profesinya secara tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena:
a. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. berdasarkan keputusan Dewan Kehormatan atau Majelis Kehormatan karena telah melanggar Kode Etik.
(3) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.

BAB V
ORGANISASI ADVOKAT

Pasal 15
(1) Organisasi Advokat harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Induk Organisasi Advokat.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. berbadan hukum;
b. beranggotakan Advokat;
c. memiliki program kerja dalam bidang pemberian Jasa Hukum dan Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma; dan
d. memiliki kepengurusan dan kegiatan yang aktif paling sedikit 3 (tiga) cabang kabupaten/kota di setiap provinsi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Pengurus Organisasi Advokat paling sedikit terdiri atas 2 (dua) orang pimpinan, 1 (satu) orang sekretaris, dan 1 (satu) orang bendahara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurus Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan dan ditetapkan oleh Advokat sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 16
Pengurus Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pengurus partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Pasal 17
Tugas dan wewenang Organisasi Advokat diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Advokat.

Pasal 18
Anggaran pendapatan dan belanja Organisasi Advokat bersumber dari iuran anggota dan sumbangan yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19
(1) Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan.
(2) Anggota Dewan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Advokat yang telah berpraktik paling singkat 15 (lima belas) tahun;
b. mantan penegak hukum;
c. akademisi; dan
d. tokoh masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota dan tata cara pengangkatan anggota Dewan Kehormatan diatur dengan Peraturan Organisasi Advokat.

Pasal 20
(1) Dewan Kehormatan memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik pada tingkat pertama.
(2) Keputusan Dewan Kehormatan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana jika pelanggaran terhadap Kode Etik mengandung unsur pidana.

Pasal 21
(1) Advokat dapat dijatuhi sanksi oleh Dewan Kehormatan berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan; atau
c. pemberhentian tetap dari profesinya.
(2) Sebelum Advokat dijatuhi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Advokat yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.

BAB VI
INDUK ORGANISASI ADVOKAT

Pasal 22
(1) Induk Organisasi Advokat beranggotakan Organisasi Advokat.
(2) Pengurus Induk Organisasi Advokat paling sedikit terdiri atas 2 (dua) orang pimpinan, 1 (satu) orang sekretaris, dan 1 (satu) orang bendahara yang berasal dari perwakilan Organisasi Advokat.
(3) Induk Organisasi Advokat membentuk Kode Etik.
(4) Pendanaan untuk menjalankan kegiatan Induk Organisasi Advokat dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja Organisasi Advokat yang bersumber dari iuran anggota dan sumbangan yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23
(1) Pengurus Induk Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) berasal dari perwakilan setiap Organisasi Advokat.
(2) Perwakilan dari setiap Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. telah berpraktik sebagai Advokat paling singkat 15 (lima belas) tahun;
b. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
c. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas.
(3) Pengurus Induk Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(4) Untuk pertama kali pengurus Induk Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dipilih melalui musyawarah nasional Organisasi Advokat.

Pasal 24
(1) Dalam hal terdapat upaya banding atas perkara pelanggaran Kode Etik, Induk Organisasi Advokat membentuk Majelis Kehormatan.
(2) Anggota Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Advokat yang telah berpraktik paling singkat 20 (dua puluh) tahun;
b. mantan penegak hukum;
c. akademisi; dan
d. tokoh masyarakat.
(3) Anggota Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. telah berpraktik sebagai Advokat paling singkat 15 (lima belas) tahun;
b. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; dan
c. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan dan tata cara pengangkatan anggota Majelis Kehormatan diatur dengan Peraturan Induk Organisasi Advokat.

Pasal 25
(1) Majelis Kehormatan memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik pada tingkat banding.
(2) Keputusan Majelis Kehormatan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana jika pelanggaran terhadap Kode Etik mengandung unsur pidana.

BAB VII
ADVOKAT ASING

Pasal 26
(1) Advokat Asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor Advokat di Indonesia.
(2) Kantor Advokat dapat mempekerjakan Advokat Asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat.
(3) Advokat Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberikan kontribusi secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara mempekerjakan Advokat Asing serta kewajiban memberikan kontribusi secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27
Advokat Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tunduk kepada Kode Etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 28
Masyarakat dapat berpartisipasi dengan cara:
a. melaporkan secara lisan dan/atau tertulis kepada Organisasi Advokat jika terjadi dugaan pelanggaran Kode Etik oleh Advokat;
b. turut serta dalam unsur keanggotaan Dewan Kehormatan; dan/atau
c. memberikan sumbangan kepada Organisasi Advokat.

BAB IX
LARANGAN

Pasal 29
Setiap orang dilarang menjalankan pekerjaan profesi Advokat tanpa memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 30
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat tanpa memenuhi ketentuan yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 31
(1) Advokat yang telah diangkat pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Pengangkatan sebagai Advokat yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 32
Kode Etik dan ketentuan mengenai Dewan Kehormatan yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia, Asosiasi Advokat Indonesia, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia, Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia, Serikat Pengacara Indonesia, Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia, dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal, pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan masih tetap berlaku sampai ada Kode Etik dan ketentuan mengenai Dewan Kehormatan baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.

Pasal 33
(1) Organisasi Advokat yang ada, pada saat Undang-Undang mulai berlaku harus menyesuaikan dengan persyaratan Organisasi Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
(2) Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum menyesuaikan dengan persyaratan dalam Undang-Undang ini, tidak dapat dikategorikan sebagai Organisasi Advokat.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 35
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4288), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 37
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …

—————
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
ADVOKAT

I. UMUM
Negara Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Prinsip negara hukum menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain supremasi hukum, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan konstitusi, persamaan di hadapan hukum, adanya peradilan tata usaha negara, perlindungan Hak Asasi Manusia, serta peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Untuk melaksanakan prinsip negara hukum tersebut, diperlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab selain lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Profesi Advokat tersebut dilaksanakan melalui pemberian Jasa Hukum kepada masyarakat. Jasa Hukum yang dapat diberikan oleh Advokat tidak hanya di dalam pengadilan tetapi juga di luar pengadilan.
Mengingat profesi Advokat merupakan profesi yang mulia (officium nobile), Advokat berdasarkan Undang-Undang ini, selain memberikan Jasa Hukum dengan imbalan berupa honorarium, juga dibebani kewajiban untuk memberikan Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma kepada klien yang tidak mampu. Pemberian Jasa Hukum Secara Cuma-Cuma oleh Advokat tersebut tidak hanya sekedar sebagai kontribusi dan tanggung jawab sosial Advokat dalam kaitannya dengan fungsi sosial dari profesi tersebut tetapi lebih merupakan kewajiban dari Advokat.
Untuk menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat, Advokat diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk membentuk Organisasi Advokat berdasarkan persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Seluruh Organisasi Advokat tersebut bergabung dalam Induk Organisasi Advokat.
Selanjutnya dalam rangka menegakkan Kode Etik, berdasarkan Undang-Undang ini, masing-masing Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan yang anggotanya terdiri atas Advokat yang telah berpraktik paling singkat 15 (lima belas) tahun, mantan penegak hukum, akademisi, dan tokoh masyarakat. Dewan Kehormatan tersebut memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik pada tingkat pertama.
Jika terhadap perkara pelanggaran kode etik diajukan banding, Induk Organisasi Advokat membentuk Majelis Kehormatan. Anggota Majelis Kehormatan terdiri atas Advokat yang telah berpraktik paling singkat 20 (dua puluh) tahun, mantan penegak hukum, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab perlu dilindungi oleh undang-undang. Undang-undang yang mengatur profesi Advokat sebelum dibentuknya Undang-Undang ini adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Namun keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tersebut belum dapat menampung perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Oleh karena itu, pembentukan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Adapun materi pokok yang diatur dalam Undang-Undang ini antara lain mengenai pengertian Advokat; fungsi, kedudukan, dan wilayah kerja Advokat; hak dan kewajiban Advokat; pengangkatan, sumpah atau janji, dan pemberhentian; Organisasi Advokat; Induk Organisasi Advokat; Advokat asing; dan partisipasi masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa Advokat harus adil dalam memperlakukan setiap Klien tanpa melihat perbedaan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah bahwa Advokat harus dapat melindungi Klien dan masyarakat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh negara atau penguasa, tetapi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah bahwa Advokat mampu bertindak atas dorongan dan kemampuan diri sendiri sesuai dengan hak dan kewajibannya, yang terlihat dalam tindakan atau perbuatan nyata guna menghasilkan jasa hukum yang baik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas netralitas” adalah Advokat dalam menjalankan tugas profesinya bebas dari pengaruh pihak lain.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah bahwa Advokat mampu bertindak sesuai dengan keahliannya berlandaskan pada Kode Etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah setiap tindakan hukum Advokat harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Klien dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas tranparansi” adalah bahwa setiap tindakan hukum Advokat dan Organisasi Advokat harus dapat diakses oleh anggota masyarakat dan Klien sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, sebaliknya Advokat juga berhak untuk memperoleh setiap informasi dari Pemerintah terhadap penyelenggaraan sistem peradilan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, Induk Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan Kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi Kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan Klien.
Yang dimaksud dengan “honorarium” adalah imbalan atas Jasa Hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “itikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “atribut” merupakan toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef putih dengan atau tanpa peci hitam.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat sebagai Advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan ini tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai Advokat untuk bertempat tinggal dimanapun.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” adalah pegawai negeri dan pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktik yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dapat dilakukan pada lebih dari 1 (satu) kantor Advokat,
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya praktik kolusi dan nepotisme.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bidang tertentu” antara lain Hak Atas Kekayaan Intelektual, Pasar Modal, dan Perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pimpinan” adalah ketua dan wakil ketua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mantan penegak hukum” adalah penegak hukum yang telah berhenti atau diberhentikan dengan hormat dari instansinya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “akademisi” adalah dosen di bidang ilmu hukum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” adalah seseorang yang dalam kehidupan sehari-harinya penuh dengan bakti kepada masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pembelaan diri” adalah hak yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya atau kaitannya dengan organisasi profesi.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kontribusi secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum” antara lain menjadi pengajar dan narasumber.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan “masyarakat” antara lain orang perseorangan, kelompok atau organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sumbangan” meliputi finansial dan non finansial.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …

sumber : http://www.facebook.com/groups/151741888206431/permalink/478771145503502/#!/abdul.adhinegoro

Gerindra Hormati Proses Hukum Tweet Farhat Abbas

In Uncategorized on Januari 14, 2013 at 9:47 pm
Jakarta-Mediasi Online. Ketua DPP Gerindra Bidang Advokasi, Habiburokhman SH MH menyatakan, permintaan maaf Farhat Abbas terkait tweetnya soal plat mobil Ahok patut diapresiasi. Saat ini sangat sedikit figur publik yg  berani meminta maaf secara terbuka jika menyadari telah melakukan kesalahan.

Di sisi lain  sikap Anton Medan dan  Ramdan Alamsyah  selaku Ketua Komunitas Intelektual Muda Betawi (KIMB) yang melaporkan Farhat ke Polisi juga patut diacungi jempol, karena memang ke Polisi-lah kita harus mengadu jika merasa telah terjadi  pelanggaran hukum.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Ramdhan Alamsyah adalah mantan Ketua Tim Advokasi Foke-Nara, yang dahulu bersaing sengit dengan Jokowi-Ahok pada Pemilukada. Namun Ramdhan bersama Anton Medan justru  membuktikan bahwa perjuangan melawan rasisme adalah agenda bersama, tak peduli siapa yang diduga  pelaku dan siapa yang menjadi korban.

“Saat ini tinggal menunggu polisi menindak-lanjuti laporan tersebut secara profesional. Biasanya  dalam waktu yang tidak terlalu lama polisi akan memangil pihak-pihak terkait termasuk Farhat Abbas selaku terlapor untuk dimintai keterangan,” ujar Habiburokhman melalui release yang dikirimkan akhir pekan lalu.

Pasal yang paling mungkin digunakan untuk memeriksa Farhat menurutnya, adalah Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis yang intinya berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.”

Untuk menafsirkan apakah tweet Farhat Abbas memenuhi unsur-unsur pasal 16 tersebut lanjutnya, pihak kepolisian harus meminta pendapat ahli komunikasi yang mempunyai kapasitas untuk menganalisa apa makna yang muncul dari tweet Farhat Abbas tersebut.

“Perlu dikaji secara ilmiah apakah kalimat ‘apapun platnya, tetap Cina! dapat dikategorikan sebagai sikap ‘menunjukkan kebencian rasial’, sebab memang tidak jelas apa hubungan antara plat mobil dengan latar belakang etnis,” jelas Habiburokhman.

Harus diakui bahwa UU Nomor 40 Tahun 2008 belum begitu sempurna, sehingga banyak tindakan yang oleh masyarakat dirasa sebagai rasisme tetapi tidak diatur dalam UU tersebut secara tegas. Hal yang berbeda terjadi di Amerika Serikat, dimana sikap tubuh (gesture) yang menirukan monyet saja bisa diartikan sebagai tindakan rasis yang menghina masyarakat asal Afrika.

“Kami sangat berharap agar Polisi bisa segera menyelesaikan tugasnya dalam kasus ini. Masalah rasisme adalah masalah super sensitif yang bisa memecah-belah bangsa kita jika tidak dihandle dengan tepat,” pintanya.

Sejarah telah membuktikan bahwa adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi pembangunan jati diri bangsa kita. Di seluruh dunia tidak ada bangsa yang bisa besar jika belum bisa menyelesaikan persoalan diskriminasi ras dan etnis.

sumber : http://mediasionline.com/readnews.php?id=4132&t=Gerindra%20Hormati%20Proses%20Hukum%20Tweet%20Farhat%20Abbas

Akhirnya, MA Bebaskan Prita Mulyasari

In Uncategorized on September 18, 2012 at 10:47 pm

Selasa, 18 September 2012

Tindakannya membuat keluhan pelayanan rumah sakit bukan pencemaran nama baik.

Majelis Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita Mulyasari dari seluruh dakwaan alias bebas murni. Karena itu, majelis memerintahkan ibu rumah tangga yang pernah diajukan ke pengadilan karena diduga melakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional ini dipulihkan nama baik, harkat, dan kedudukannya.

“Menyatakan Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan jaksa seperti dalam dakwaan kesatu, kedua, dan ketiga dan membebaskannya dari semua dakwaan. Memulihkan hak terpidana dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabat,” demikian bunyi petikan amar putusan perkara No. 22 PK/Pid.sus/2011. 

Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini yang dijatuhkan pada Senin (17/9) oleh majelis PK yang diketuai Ketua Muda Pidana Khusus MA Djoko Sarwoko beranggotakan hakim anggota hakim agung Surya Jaya dan Suhadi.

Dengan demikian, putusan PK itu telah membatalkan putusan kasasi MA dalam perkara pidana pencemaran nama baik yang diputus pada 30 Juni 2011. Majelis kasasi yang diketuai Imam Harjadi dengan hakim anggota Salman Luthan dan Zaharuddin Utama ketika itu menyatakan Prita terbukti bersalah sehingga menjatuhkan hukuman  enam bulan penjara dengan masa percobaan selama setahun.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur menjelaskan majelis PK menerima novum (bukti baru) yang diajukan Prita yakni putusan kasasi dalam perkara gugatan perdata pencemaran nama baik dalam perkara yang sama. Sebab, MA telah menolak gugatan pencemaran nama baik itu dengan dalih apa yang dilakukan Prita melalui email berisi keluhan terhadap pelayanan RS Omni Internasional bukanlah pencemaran nama baik.

“Diajukannya novum itu yang menyatakan bahwa itu bukan pencemaran nama baik, maka PK dikabulkan,” ujar Ridwan Mansyur di Gedung MA, Senin (17/9).

ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) memberikan apresiasi khusus kepada Mahkamah Agung atas putusan PK kasus Prita. Menurut ICJR, putusan PK ini menjadi penting dalam sejarah perbaikan sistem hukum di Indonesia, dan menjadi catatan bersejarah dalam kehidupan kebebasan berekspresi. Seperti yang kita ketahui, kasus Prita Mulyasari berawal dari tulisannya melalui surat elektronik atau email yang berisi tentang keluhannya atas pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Tangerang, yang kemudian menyebar, dan berbuah gugatan perdata, dan pidana oleh pihak RS Omni Internasional.  

Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalannya kehidupan demokrasi. Hak ini dijamin dan dilindungi oleh Negara. Namun, dalam rezim hukum dan hak asasi manusia, selain menjamin kebebasan berekspresi ini, negara juga menjamin hak individu atas kehormatan atau reputasi. Dalam banyak kasus, Pengadilan lebih memilih untuk mendahulukan hak atas reputasi daripada mempertimbangkan keduanya secara seimbang dan seksama. Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh mengancam kebebasan berekspresi.

Dalam pandangan ICJR, putusan PK atas Kasus Prita Mulyasari ini setidaknya bisa mengurangi rasa takut pada masyarakat luas, dalam menyampaikan pendapat, informasi atau berekspresi, khususnya secara tertulis melalui dunia maya. Karena tak dipungkiri, pidana penjara merupakan pidana yang menakutkan bagi tiap orang. Meskipun tingkat pidananya rendah, namun pidana penjara dapat menghadirkan dampak-dampak mendalam lainnya.

Proses kasus  Prita Mulyasari memang cukup panjang. Awalnya, Prita diseret ke pengadilan atas tuduhan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Tangerang gara-gara mengeluhkan pelayanan buruk RS Omni Internasioanal dengan menyebarkan sebuah email. Alhasil, Majelis PN Tangerang membebaskan Prita pada 2009, tetapi jaksa mengajukan upaya hukum kasasi dan kasasinya dikabulkan MA.

Selain perkara pidana, gugatan perdata juga dilayangkan RS Omni Internasional. MA menolak gugatan perdata Omni tersebut pada 29  September 2010 yang diputus oleh Ketua MA kala itu Harifin A Tumpa. MA membatalkan putusan PN Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten yang mengabulkan gugatan Omni dan memerintahkan Prita membayar ganti rugi atas perbutan pencemaran baik yang dinyatakan terbukti dilakukannya.

sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5057d8e58f799/akhirnya–ma-bebaskan-prita-mulyasari